Fonologi Diksastrasiada


JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTRER II
MATA KULIAH FONOLOGI DIKSASTRASIADA
TAHUN 2010

1.    Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.

Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak
menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengairim bahasa harus harus menguasai bahasanya.
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri. Bahasa isyarat akan dibahas pada artikel lain di situs organisasi.org ini. Selamat membaca.

Kaitannya dengan bidang fonetik dan fonemik yaitu bunyi-bunyi ujardipandang sebagai bahan semata, atau sebagai bahan mentah, fonologi tersebut yang memandang bunyi-bunyi ujar tadii di sebut fonetik. Dan unsur-unsur bahasa yang membedakan arti atau makna disebut fonemik

2.    Pengertian-pengertian dari kata:
Ø  Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Contoh dalam Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif. Contoh lainnya adalah Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.
Ø  Disimilasi adalah Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contohnya Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
Ø  Modivikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan. Contohnya Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu.
Ø  Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal – setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
Ø  Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya. 
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.
Ø  Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya: kerikil
menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadibantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya:lemari berasal dari bahasa Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arabarbab.
Ø  Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenya-ringan sehingga tetap dalam satu silaba. Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa].
Ø  Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong. 
Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte].
Ø  Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya:
- putra menjadi putera
- putri menjadi puteri

3.    - Bunyi bahasa merupakan bunyi, yang merupakan perwujudan dari setiap bahasa, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berperan di dalam bahasa. Bunyi bahasa adalah bunyi yang menjadi perhatian para ahli bahasa. Bunyi bahasa ini merupakan sarana komunikasi melalui bahasa dengan cara lisan. Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat, yaitu (1) sumber tenaga, (2) alat ucap penghasil getaran, dan (3) rongga pengubah getaran.
Beberapa konsep yang perlu diketahui adalah:
1.   Vokal dan konsonan
2.   Diftong dan gugus konsonan
3.   Fonem dan grafem
4.   Fonotaktik
-  Vokal dan konsonan
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok: vokal dan konsonan.
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor:
§  tinggi-rendahnya posisi lidah (tinggi, sedang, rendah)
§  bagian lidah yang dinaikkan (depan, tengah, belakang)
§  bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (normal, bundar, lebar/terentang)
Konsonan adalah bunyi bahasa yang arus udaranya mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor:
§  keadaan pita suara (merapat atau merenggang - bersuara atau tak bersuara)
§  penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap/artikulator (bibir, gigi, gusi, lidah, langit-langit)
§  cara alat ucap tersebut bersentuhan/berdekatan
- Artikulator adalah alat ucap yang bersentuhan atau yang didekatkan untuk membentuk bunyi bahasa.
Daerah artiulasi adalah daerah pertemuan antara dua artikulator. Macamnya:
§  Bilabial - bibir atas dan bibir bawah (kedua bibir terkatup), mis.: [p], [b], [m]
§  Labiodental - bibir bawah dan ujung gigi atas, mis.: [f]
§  Alveolar - ujung/daun lidah menyentuh/mendekati gusi, mis.: [t], [d], [s]
§  Dental - ujung/daun lidah menyentuh/mendekati gigi depan atas
§  Palatal - depan lidah menyentuh langit-langit keras, mis.: [c], [j], [y]
§  Velar - belakang lidah menempel/mendekati langit-langit lunak, mis.: [k], [g]
§  Glotal (hamzah) - pita suara didekatkan cukup rapat sehingga arus udara dari paru-paru tertahan, mis.: bunyi yang memisahkan bunyi [a] pertama dan [a] kedua pada kata saat
Cara artikulasi adalah cara artikulator menyentuh atau mendekati daerah artikulasi. Macamnya:
§  Bunyi hambat - kedua bibir terkatup, saluran ke rongga hidung tertutup, kemudian katup bibir dibuka tiba-tiba. Mis.: [p] dan [b]
§  Bunyi semi-hambat - kedua bibir terkatup, udara dikeluarkan melalui rongga hidung. Mis.: [m]
§  Bunyi frikatif - arus udara dikeluarkan melalui saluran sempit sehingga terdengar bunyi berisik (desis). Mis.: [f] dan [s]
§  Bunyi lateral - ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah. Mis.: [l]
§  Bunyi getar - ujung lidah menyentuh tempat yang sama berulang-ulang. Mis.: [r]
Selain bunyi-bunyi di atas, ada bunyi yang cara pembentukannya sama seperti pembentukan vokal, tetapi tidak pernah dapat menjadi inti suku kata. Mis.: [w] dan [y]

4. Diftong adalah vokal yang berubah kualiasnya. Dalam sistem tulisan diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ pada kata "harimau" adalah diftong, sehingga pada suku kata "-mau" tidak dapat dipisahkan menjadi "ma·u" seperti pada kata "mau". Demikian pula halnya dengan deretan huruf vokal pada kata "sungai". Deretan huruf vokal itu melambangkan bunyi diftong /ay/ yang merupakan inti suku kata "-ngai".
Diftong berbeda dari deretan vokal. Tiap-tiap vokal pada deretan vokal mendapat hembusan napas yang sama atau hampir sama; kedua vokal itu termasuk dalam dua suku kata yang berbeda. Bunyi /aw/ dan /ay/ pada kata "daun" dan "main", misalnya, bukanlah diftong, karena baik [a] maupun [u] atau [i] masing-masing mendapat aksen yang (hampir) sama dan membentuk suku kata tersendiri sehingga kata "daun" dan "main" masing-masing terdiri atas dua suku kata.
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku kata yang sama. Bunyi [pr] pada kata "praktik" adalah gugus konsonan, tetapi [kt] pada kata yang sama itu bukanlah gugus konsonan. Pemisahan bunyi pada kata itu adalah prak·tik.
Dengan contoh di atas jelaslah bawha tidak semua deretan konsonan itu selalu membentuk gugus konsonan. Dalam bahasa Indonesia cukup banyak kata yang memiliki dua konsonan yang berdampingan, namun belum tentu deretan itu merupakan gugus konsonan. Contoh lain dari deretan dua konsonan yang bukan gugus konsonan adalah "cipta", "aksi", dan "harga".

0 komentar: